Kata Peradaban dan Kebudayaan Sangat sulit untuk kita
membedakan makna dari kedua kata tersebut karena memiliki makna yang hampir
serupa, Menurut keterangan Dr. Badri Yatim, M.A. dalam bukunya yang
berjudul “Sejarah Peradaban Islam”. (Dalam perkembangan ilmu antropologi,
kedua istilah tersebut berbeda.
Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat dalam suatu masyarakat.
Sedangkan Peradaban adalah manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan
teknologis. kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra,
religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik,
ekonomi dan teknologi).
Kemudian
keterangan Prof. Ali Hasimi dalam
bukunya “Kebudayaan Aceh dalam Sejarah” memberikan definisi tentang
kebudayaan sebagai berikut, “Kebudayaan yang menjelma dari serba kebutuhan
manusia adalah manifestasi akal budi dan hatinurani manusia, sehingga dengan
demikian kebudayaan berarti :
a. penjelmaan akal,
b. penjelmaan rasa,
c. penjelmaan cita.
Keterangan diatas kiranya sudah cukup untuk menyentuh
arah dari tulisan ini yang terfokus pada Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.
Kerajaan Samudra Pasai sebagai pusat
peradaban
Keberadaan
Kerajaan Samudra Pasai (abad 13 M) sebagai kerajaan Islam pertama
telah menjadi suatu pusat peradaban di Nusantara dalam langkah-langkah
pengembangan agama Islam pada masa pemerintahan Malikus Saleh dan
penerusnya yang telah membuahkan hasil gemilang dengan berdirinya
beberapa kerajaan Islam di pulau Jawa. Samudra Pasai tidak saja menjadi
pusat niaga yang disinggahi oleh para pedagang yang datang dari India, Parsi,
Arab dan Cina tetapi juga menjadi peradaban dan pusat pendidikan
Islam.
Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan
masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke-15 M,
di daerah ini lahir kerajaan Islam, yang merupakan kerajaan Islam kedua
di Asia Tenggara. Ibnu Batutah seorang pengembara asal Maroko pada tahun 1345
mengunjungi Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke
Cina pada masa pemerintahan Sulthan Malik Al-Zahir. Ibnu Batutah
menyatakan bahwa Islam sudah hampir satu abad lamanya disiarkan disana.
Ia meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati, semangat keagamaan rajanya yang
seperti rakyatnya,mengikuti mazhab Syafi’i . Berdasarkan beritanya pula.
Kerajaan Samudra Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat
berkumpul para ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk mendiskusikan
berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.
Sebelumnya tahun 1292 pada masa pemerintahan
Sulthan Malikus Saleh telah singgah pula di Samudra Pasai seorang pengembara
bangsa Venecia yang banyak menghabiskan waktunya di Mongolia dan Cina.
Sementara Cheng Ho penjelajah bangsa Cina yang beragama Islam juga pernah
singgah di Kerajaan Samudra Pasai (antara tahun 1413 – 1415 ) dia menyerahkan
sebuat lonceng besar yang kemudian dinamakan ‘Cakra Donya” kepada Sulthan
Aceh. Demikian ketenaran Samudra Pasei masa itu yang menarik minat
para penjelajah dunia untuk menyinggahinya.
Gambaran mengenai kemajuan Pasai oleh Dr. Badri Yatim,
MA disebutkan bahwa dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini
tidak mempunyai basis agrararis. Basis perekenomiannya adalah
perdagangan dan pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran
itu merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan
memperoleh penghasilan dalam pajak yang besar. Tome Pires menceritakan,
di Pasai ada mata uang dirham. Dikatakannya bahwa setiap kapal yang membawa
barang-barang dari barat dikenakan pajak 6 %. Samudra Pasai pada waktu
itu ditinjau dari segi geografis dan sosial ekonomi, memang merupakan
suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat
perdagangan yang sangat penting. Adanya mata uang dirham di Samudra Pasai
pernah diteliti oleh H.J. Cowan untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja
Pasai. Mata uang tersebut menggunakan nama –nama Sulthan yang memerintah
kerajaan
Kemasyhuran Samudra Pasai yang mengandalkan perniagaan
maritim telah mengundang perhatian pihak lain untuk menguasai Samudra Pasai dan
menjadikan daerah taklukan mereka. Dalam masa pemerintahan Sulthan Zainal
Zainul Abidin Malikuz Zahir kerajaan Mojopahit menyerang Pasai dibawah
pimpinan Patih Nala, dengan bekerja sama dengan kerjaan Siam, dimana dengan
tipu daya yang licik utusan Raja Siam menculik Sulthan Zainul Abidin.
Karena tidak tahan peperangan yang dilakukan rakyat/tentara,
akhirnya bala tentara Majapahit terpaksa meninggalkan Pasai, dengan membawa
sejumlah tawanan, tawanan mana kemudian menjadi pembawa Islam pertama ke
pulau Jawa.
Apa yang telah dicapai oleh Kerajaan Samudra
Pasai dimasa kejayaannya merupakan manifestasi dari sebuah peradaban yang
diserap ketika Islam telah menjadi agama yang yang diyakini oleh
orang-orang Aceh. Kemajuan Samudra Pasei disamping pemerintahan yang kuat juga
memilik lembaga-lembaga yang teratur, ekonomi yang stabil, ilmu
pengetahuan yang berkembang ditandai dengan banyaknya ulama dan penuntut
ilmu yang datang mengajar dan belajar di Kerajaan Samudra Pasai. Setiap
permasalahan agama yang timbul di kerajaan-kerajan Islam di Jawa dan
Malaka kerap kali meminta fatwa dari ulama-ulama Pasai.
Setelah
jatuhnya Pasai ke tangan Portugis pada tahun 1521 maka pusat peradaban pun berpindah
ke kerajaan Aceh Darussalam dibawah pemerintahan sulthan-sulthan yang kuat
dimasa itu. Sementara ada pula putra-putra Pasai yang meninggalkan tanah
kelahirannya pergi merantau ke Jawa salah satu diantaranya adalah Fatahillah
atau dengan nama lain Syarif Hidayatullah yang menjadi Panglima Perang Kerajaan
Islam Demak. Setelah tiga tahun dikuasai Portugis, Pasai
dapat dibebaskan dari cengkraman Portugis kemudian disatukan dalam pemerintahan
Kerajaan Aceh Darussalam.
Sulthan-sulthan
Kerajaan Samudra Pasai :
KERAJAAN
SAMUDRA/PASAI |
||
433-
831 H – 1042 -1427 M |
||
Tahun
Kekuasaan |
Nama
Sulthan |
|
Hijriyah |
Miladiyah |
|
433 –
470 |
1042 –
1078 |
Maharaja Mahmud Syah (Meurah Giri) |
470 –
527 |
1078 –
1133 |
Maharaja Mansyur Syah |
527 –
550 |
1133 –
1155 |
Maharaja Khiyassyuddin Syah |
550 –
607 |
1155 –
1210 |
Maharaja Nurdin
Sulthan Al-Kamil |
659 –
688 |
1261 –
1289 |
Sulthan Malikus Salih |
688 –
725 |
1289 –
1326 |
Sulthan Muhammad Malikud Dhahir |
725 –
750 |
1326 –
1350 |
Sulthan Ahmad Malikud Dhahir |
750 –
796 |
1350 –
1394 |
Sulthan Zaulabidin Malikud Dhahir |
796 –
801 |
Maharaja
Nagur Rabath Abdul kadir Syah |
|
801 –
831 |
1400 –
1427 |
Nihrasiyah Rawangsa Khadiju |
1513 |
Sulthan Abdullah |
Ali Hasjmi – Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah
Tidak ada komentar