Beranda
ARTIKEL
CERITA
DAERAH
PENDIDIKAN
Perjuangan Dakwah Seorang Da’i Perbatasan


 

Dakwah merupakan bagian dari perjuangan umat Islam untuk menjadi umat terbaik yang saling mengajak untuk kebaikan dan mengingatkan dalam keburukan. Dakwah tentu memiliki peran yang sangat penting.  Karna tanpa dakwah, Islam tidak akan berkembang. Kita sebagai umat muslim, memiliki kewajiban untuk berdakwah. Menyeru untuk berbuat baik dan mengamalkan syariat Islam.

Dalam penyampaian dakwah mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang sangat pesat. Saat ini, di sosial media banyak sekali konten kreator yang kreatif dalam menyampaikan dakwah dalam bentuk video, gambar, maupun podcast yang sangat mudah sekali untuk kita akses dan dengar. Akan tetapi, di daerah yang terpencil, jauh dari akses internet akan sangat sulit dakwah itu tersampaikan. Diera seperti sekarang ini, tidaklah cukup dakwah di sosial media saja. Perlu adanya dakwah bil-lisan yang artinya dakwah secara langsung yang disampaikan dengan lisan sehingga ada interaksi yang terjalin antara pemberi dakwah dengan orang yang mendengarkan dakwah tersebut, sehingga lebih mudah memahami apa yang telah di sampaikan oleh pemberi dakwah atau biasa kita sebut dengan "Da'i".

Dipelosok desa, yang sangat jauh dari keramaian kota serta akses yang terbatas, dakwah menjadi sebuah tantangan yang tidak mudah. Seperti salah satu seorang da'i yang bernama Ustadzah Evi Maulida S.Pd.I, yang biasa di panggil Umi Evi. Umi adalah seorang aktivis dakwah yang sudah bergelut di dunia dakwah sejak di Madrasah Aliyah Negeri 1 Langsa. Mengikuti berbagai organisasi keagamaan salah satunya ialah rohis. Di masa kuliah beliau juga aktif di organisasi lembaga dakwah kampus hingga akhirnya terjun ke masyarakat. Tahun 2014, ia menjadi Da'i perbatasan yang di utus dari Dinas Syariat Islam provinsi Aceh.

Perjalanan dakwah umi pertama kali di Kutacane, kabupaten Aceh Tenggara. Kabupaten ini terdiri dari pengunungan gunung leuser, wilayah datarnya berada di lembah alas, dan berada di wilayah paling tenggara provinsi Aceh yang langsung berbatasan dengan provinsi Sumatra Utara. Kabupaten ini masuk dalam daftar dataran tinggi di indonesia yang di namakan sebagai "Dataran Tinggi Alas" Dan menjadi kabupaten paling multikultural yang terjaga hingga saat ini di Aceh. Wilayah ini lebih multikultural dibandingkan dengan kabupaten atau kota yang ada di provinsi Aceh lainnya, yakni didiami oleh beberapa suku yaitu; suku Alas sebagai suku asli dan terbesar, suku Karo, Toba, Singkil, Minang, Gayo, Jawa, Pakpak, Angkola, Mandailing, Tionghoa, Aceh dan Melayu.

Kabupaten Aceh Tenggara memiliki dua umat beragama yakni islam sebagai mayoritas dan kristen. Adanya dua keyakinan ini tentu saja menghadirkan banyak tempat beribadah kedua agama ini, masjid dan Gereja. Hidup dalam kemajemukan tentu sulit untuk mengharapkan tidak terjadinya gesekan-gesekan di tengah masyarakat. Berdakwah di tengah masyarakat yang non muslim bukanlah hal yang mudah.  Di tambah dengan perbedaan kultur dan suku yang beragam menjadi sebuah tantangan yang berat, namun sebagai seorang da'i harus selalu tanggap dan beradaptasi dalam berbagai situasi. "Saya tinggal di balai desa, dan setiap harinya mengajar di TPA. Seminggu sekali, di malam Jum'at saya mengadakan pengajian ibu-ibu dan remaja, membaca surah Yasin. Namun, yang hadir hanya sekitar 5-10 orang" Ujar umi Evi. Meski ia mengalami lika liku dalam perjalanan dakwahnya selama satu tahun di Aceh Tenggara , namun umi Evi tidak membuat semangat dakwahnya luntur.

Di tahun 2015, beliau di pindahkan tugas ke sebuah desa terpencil di Aceh Tamiang. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur dan terletak di perbatasan Aceh-Sumatra Utara. Jauh berbeda dari daerah sebelumnya, di tempat yang baru ia mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Hambatan yang di alaminya pada saat itu  adalah  akses transportasi dan internet yang masih sulit. Namun sekarang, sudah banyak mengalami kemajuan.

Dakwahnya di daerah ini sangat berkembang. Setiap harinya agenda dakwah di berbagai pengajian terus berjalan. Pengajian ibu-ibu rutin di laksanakan setiap minggunya di daerah yang berbeda yang di hadiri oleh 20- 50 orang. Ia juga mengadakan pelatihan guru-guru TPQ setiap dua minggu sekali sedangkan pengajian remaja setiap seminggu sekali sampai akhirnya ia membangun komunitas muslimah Sahabat Hijrah Fillah (El-Shafa) sebagai program dakwahnya. Komunitas ini membawa vibes yang positif dan membawa perubahan. Yang dulunya muslimah tidak memakai hijab, sampai sekarang berhijab syar'i dan bercadar.

 Sampai saat ini di tahun 2022, ia terus bergerak demi dakwah. Suka dan duka hingga banyaknya pengorbanan yang sudah di lakukan tidak pernah membuatnya berhenti untuk berdakwah. Ia mengungkapkan, "Yang membuat saya bertahan sampai sekarang adalah karena melihat kondisi umat saat ini. Sangat butuh memang orang-orang yang bergerak, sangat butuh orang-orang yang menciptakan perubahan-perubahan khususnya di daerah terpencil Karna kalau tidak kita siapa lagi, kalau bukan kita siapa lagi, kalau tidak sekarang kapan lagi. Jadi, saya rasa yang membuat saya masih semangat sampai saat ini adalah masih banyak PR umat Islam untuk terus memperjuangkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat.

 Karna banyaknya kita lihat maksiat semakin merajalela, permutadan di daerah perbatasan juga sangat meningkat, membuat hati ini miris sehingga ingin terus bergerak, ingin terus memberikan perubahan di tengah masyarakat melalui berdakwah".

Penulis : Rosa Rahayu H,  Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, IAIN Langsa

Penulis blog

Tidak ada komentar