Penulis : Nurmala (KKN-DR Berbasis Media Sosial) Mahasiswi Perguruan Madrasah Ibtidaiyah, IAIN Langsa |
Aceh
Tamiang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang memiliki Tradisi
yang berbeda-beda dengan tradisi Aceh lainnya. Peusijuek adalah sebuah prosesi
adat dalam budaya masyarakat Aceh Tamiang yang masih di praktikkan hingga saat
ini. Kata Peusijuek sendiri diambil dari
sijue dalam Bahasa Aceh berarti dingin. Sehingga dapat diartikan mendinginkan
atau menyejukkan. Peusijuek ini merupakan proses mendinginkan atau musyawarah
suasana-suasana yang mencekam disebabkan oleh pertingkaian-pertingkaian kecil
yang terjadi di Masyarakat Aceh Tamiang. Tujuan dari peusejuek ini mengandung
harapan agar bibit yang akan ditanam mendapat rahmat Allah SWT, subur dan
berbuah banyak.
Tradisi
ini biasanya dilakukan untuk memohon keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan
dalam kehidupan. Tradisi peusijuek ini sudah ada sejak zaman dahulu dan masih
sering dilakukan hingga sekarang. Tradisi Peusijuek ini biasanya dilakukan hampir
semua kegiatan adat masyarakat Aceh Tamiang, seperti Pernikahan, perayaan adat,
syukuran, upacara adat, menempati rumah baru, mulai menanam padi, kendaraan
baru, naik haji, dan lainnya.
Pada
dasarnya banyak sekali peristiwa dalam kehidupan seseorang yang diharapkan
dapat berlangsung dengan baik atau akan mendapat keselamatan dalam menjalani
peristiwa itu. Karena itu orang berdoa kepada Tuhan agar dapat terpenuhi harapan
itu, dan menyatakan rasa syukur apabila harapan sudah terpenuhi atau telah
berlangsung dengan baik.
Berdoa
dan menyatakan rasa itu telah menjadi kebiasaan masyarakat Aceh Tamiang, dan
dalam masyarakat Aceh peusijuek dilakukan dalam rangka berdoa dan menyatakan
rasa syukur tersebut. Karena itu dapat dikatakan bahwa kedudukan peusijuek itu
bukanlah suatu adat yang berdiri sendiri melainkan sebagai bagian atau
pengiring dari suatu adat tertentu, yang telah menjadi adat atau diadatkan.
Ialah
pernyataan rasa syukur atau pernyataan harapan untuk memperoleh berkat atau
keselamatan dari suatu peristiwa kehidupan, dan pernyataan dilakukan dengan
berdoa.
Pelaksanaan
ritual Peusijuek biasanya dilakukan oleh tokoh agama atau tokoh adat yang
dituakan oleh masyarakat. Hal ini diharuskan karena tradisi Peusijuek merupakan
ritual yang dianggap sakral, sehingga untuk melakukannya haruslah orang yang
paling mengerti tentang doa-doa dan prosesi dalam ritual tersebut. Apa bila
orang yang diPeusijuek adalah kaum laki-laki, biasanya adakan dilakukan oleh
Teungku atau Ustadz. Sedangkan apa bila yang diPeusijuek adalah kaum perempuan,
maka akan dilakukan oleh Ummi atau seorang wanita yang dituakan oleh
masyarakat.
Dalam
pelaksanaan tradisi Peusijuek ini ada 3 hal yang paling penting, yaitu
perangkat alat serta bahan peusijuek, gerakan, dan doa. Untuk perangkat dan
bahan Peusijuek biasanya terdiri dari talam, bu leukat (ketan), u mirah (kelapa
merah), breueh pade (beras), teupong taweue (tepung yang dicampur air), on
sisikuek( sejenis daun cocor bebek), manek manoe(jenis daun-daunan), naleueng
sambo (sejenis rumput), glok (tempat cuci tangan) dan sangee(tudung saji). Bagi
masyarakat Aceh, setiap bahan Peusijuek ini memiliki filosofi dan arti khusus
di dalamnya.
Adapun
makna dari penyelenggaraan peusijuek adalah
1. Talam mengandung makna bahwa orang yang
dipeusijuek tetap bersatu dalam lingkungan keluarga yang ditinggalkan.
2. Clok (calok) mengandung makna bahwa
orang yang dipeusijuek itu tetap berada dalam lingkungan keluarga yang di lingkungan
keluarga (persatuan) dan berhemat.
3. Tudung saji (sangee) mengandung makna
diharapkan untuk mendapatkan perlindungan dari Allah swt dari segala tipu daya
yang menyesatkan.
4. Beras padi mengandung makna bahwa orang
dipeusijuek semakin tua semakin berilmu, juga merupakan makan pokok atau benih
untuk menghasilkan.
5. Tepung tawar mengandung makna bahwa
tepung berwarna putih merupakan perlambang kebersihan dan kesejukan jiwa bagi
orang yang dipeusijuek.
6. On manek-mano mengandung makna bahwa
sesuai dengan deretan bunga diharapkan digalang persatuan dan kesatuan serta
keteraturan.
7. On sijuek mengandung makna obat penawar/
kesejukan meresap kalbu.
8. Naleung Samboe mengandung makna dengan
sifatnya yang kokoh sulit untuk dicabut, pelambang sebagai kekokohan pendirian
dan etika, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun agama.
9. Bu leukat mengandung makna zat perekat,
pelambang sebagai daya tarik untuk tetap
meresap dalam hati orang yang dipeusijuek semua ajaran dan nasihat ke jalan
yang diridhai oleh Allah swt.
Melalui tradisi
dan hal nyata yang ada disekitar hidup maka diharapkan dengan akan mengingatkan
pengalaman-pengalaman yang dialami secara baik, dan pengalaman tersebut adalah
cara menanamamkan nilai-nilai kearifan lokal. Hidayat (2015) menyatakan proses
komunikasi lintas budaya dalam tradisi Peusijuek pada masyarakat gampong
indrapuri terjadi melalui proses akulturasi
atau percampuran
unsur-unsur budaya hindu dan unsur-unsur budaya islam. unsur-unsur budaya hindu
yang terdapat pada tradisi Peusijuek adalah memercikkan air, menaburkan beras,
dan sesajian. unsur-unsur budaya islam yang terdapat pada tradisi Peusijuek
adalah doa, silahturahmi, bersyukur, dan sedekah. Akulturasi hindu dan islam
dalam tradisi Peusijuek tersebut terjadi karena adanya motivasi dan keterbukaan
masyarakat dalam mengubah tradisi Peusijuek. Tradisi Peusijuek bukan hanya
sebagai bentuk tradisi ritual saja tetapi juga sebagai bentuk komunikasi
masyarakat dalam menjalin hubungan yang lebih baik. Pada tradisi Peusijeuk
terdapat beberapa nilai-nilai kearifan lokal.
Dalam bukunya identitas
Aceh dalam perspektif syariat dan adat Ali (2013) mengemukakan bahwa makna dari
tahap-tahap yang digunakan dalam Peusijuek adalah pertama setelah membaca
basmallah kemudian kedua menaburkan beras dan padi, sifat padi itu semakin
berisi semakin merunduk, maka diharapkan bagi yang di Peusijuek supaya tidak
sombong bila mendapat keberhasilan serta mengharap agar mendapatkan kesuburan,
kemakmuran, dan semangat seperti taburan beras padi yang begitu semarak
berjatuhan. Kemudian ketiga menyuapi nasi ketan (bu leukat) dan menyuntingnya
pada telinga sebelah kanan, dipilih nasi ketan karena mengandung zat perekat,
sehingga jiwa raga yang di Peusijuek tetap berada dalam lingkungan keluarga
atau kelompok masyarakatnya. Lalu yang terakhir adalah pemberian uang
(teumutuep) secara filosofi teumeutuep memiliki makna sedekah, sedangkan
sedekah salah satu pilar dalam mencapai kemakmuran dalam
masyarakat.Penyelenggaraan Peusijeuk tersebut dapat dilihat banyaknya nilai
yang terkandung dalam setiap tahapan maupun filosofi dari bahan yang
digunakann. Mahardika (2017), mengemukakan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam
masyarakat dapat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, dan
aturan-aturan khusus.
Tidak ada komentar