Penulisan: Nurlaila Mardiatillah (Prodi Psikologi Islam IAIN LANGSA )
Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang teori-teori psikologi yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Sunnah terkait cara menjaga kesehatan mental. Sebagai sumber utama dalam Islam, Al-Qur'an dan Hadis menawarkan berbagai informasi, termasuk tentang kesehatan mental, yang kini menjadi fokus dalam dunia psikologi. Dengan menggunakan pendekatan normatif-teologis, penulis menganalisis teks-teks yang membahas topik ini serta menguraikan teori-teori yang ada. Penulis menyimpulkan bahwa: 1) dalam perspektif Al-Qur'an dan Sunnah, menjaga kesehatan mental terkait dengan prinsip wasathiyah (moderasi) dalam memenuhi kebutuhan materi, dan 2) metode spiritual yang diajarkan dalam Al-Qur'an dan Hadis berperan penting dalam mencapai kesehatan mental, antara lain dengan memperkuat dimensi spiritual, mengelola motivasi biologis, serta menerapkan metode pembelajaran yang mendukung kesejahteraan mental. Penerapan prinsip-prinsip ini tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabat, terutama dalam hubungan mereka dengan Allah, diri mereka sendiri, sesama manusia, serta alam semesta.
Pendahuluan
Di era globalisasi saat ini, manusia hidup dalam keadaan tanpa batasan geografis, memungkinkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar informasi kapan saja dan di mana saja. Kemajuan pesat dalam teknologi informasi menjadi salah satu tanda utama dari globalisasi, yang memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan, terutama dalam hal budaya dan nilai-nilai sosial. Persaingan di sektor industri barang dan jasa berpengaruh besar terhadap kondisi psikologis masyarakat, yang terlihat dalam bentuk peningkatan agresivitas, gangguan emosional, ketidakmatangan dalam kepribadian, serta depresi akibat tekanan hidup. Selain itu, ada pula peningkatan rasa curiga dan persaingan yang tidak sehat, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap tingginya angka bunuh diri (Febriana, 2011). Masalah kesehatan mental dan psikososial kini menjadi isu yang serius dan memerlukan perhatian khusus. Sebuah laporan mengungkapkan bahwa lebih dari setengah tempat tidur rumah sakit di Amerika Serikat ditempati oleh pasien dengan gangguan mental, yang mengakibatkan pengeluaran miliaran dolar setiap tahunnya untuk penanganan mereka (Fromm, 1995).
Al-Qur'an dan Al-Hadits, sebagai sumber utama ajaran Islam, memberikan pedoman dan tuntunan bagi umat manusia untuk menjaga fitrah mereka demi mencapai kebahagiaan yang sejati. Dalam Al-Qur'an, terdapat konsep jiwa yang tenang (an-nafsu al-muthmainnah), sedangkan dalam Al-Hadits terdapat istilah al-fithrah. Keduanya merupakan kondisi yang diperlukan untuk kesehatan mental yang seharusnya dimiliki oleh setiap Muslim. Hidup dengan jiwa yang tenang harus berlandaskan pada fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wata'ala, yakni akidah tauhid.
Dengan pendekatan normatif teologis, penulis berusaha mengeksplorasi konsep-konsep psikologi yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits mengenai cara menjaga kesehatan mental. Penulis merasa hal ini sangat penting untuk disampaikan, mengingat dominasi teori-teori psikologi Barat yang umumnya berlandaskan pada filsafat materialisme-behaviorisme dalam perkembangan ilmu psikologi saat ini.
Hakikat Kesehatan Mental
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan mental adalah kondisi kesejahteraan di mana setiap orang dapat mengenali potensi dirinya, mengatasi stress yang merupakan bagian normal dari kehidupan, bekerja dengan hasil yang produktif, serta memberikan sumbangsih kepada komunitasnya.
Menurut Musthafa Fahmi (1977), konsep kesehatan mental memiliki berbagai macam pengertian dan batasan. Ia mengemukakan dua definisi terkait dengan topik tersebut.definisi pertama, kesehatan jiwa dipahami sebagai keadaan bebas dari tanda-tanda penyakit mental atau gangguan psikologis. Definisi ini umumnya digunakan dalam ranah psikiatri. Sedangkan, definisi lainnya menggambarkan kesehatan jiwa sebagai kemampuan seseorang untuk secara aktif menyesuaikan diri dengan diri sendiri dan lingkungan sosialnya, yang mengarah pada kehidupan yang stabil, bebas dari kecemasan,dan penuh semangat.
Zakiah Daradjat (1983) mengemukakan lima definisi tentang kesehatan jiwa yang umumnya diterima oleh para ahli. Definisi-definisi ini disusun mulai dari yang lebih spesifik hingga yang lebih umum, sehingga rumusan terakhir seolah mencakup rumusan sebelumnya. Berikut adalah penjelasan mengenai lima rumusan tersebut:
- Kesehatan mental dapat diartikan sebagai keadaan di mana seseorang terhindar dari gangguan jiwa seperti neurosis dan psikosis. Definisi ini banyak diterima dalam dunia psikiatri, yang melihat kesehatan mental sebagai kondisi sehat atau sakit berdasarkan gangguan yang ada.
- Kesehatan mental juga dipahami sebagai kemampuan individu untuk beradaptasi dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, serta lingkungan tempat ia tinggal. Definisi ini lebih luas dan menyeluruh karena mencakup aspek kehidupan sosial. Kemampuan beradaptasi ini diharapkan dapat membawa ketenangan dan kebahagiaan.
- Kesehatan mental berarti tercapainya keseimbangan yang harmonis antara fungsi-fungsi jiwa, serta kemampuan untuk menghadapi tantangan hidup sehari-hari tanpa merasa gelisah atau mengalami konflik batin. Definisi ini menyoroti pentingnya keharmonisan dalam berbagai aspek jiwa, seperti pikiran, perasaan, dan sikap, dalam menjaga kesehatan mental.
- Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.
Terkait dengan aspek-aspek dan indikator kesehatan mental, Marie Jahoda, sebagaimana yang dikutip oleh Jaelani (2000), memberikan pengertian yang lebih luas. Menurutnya, kesehatan mental tidak hanya diartikan sebagai ketiadaan gangguan psikologis atau penyakit mental, melainkan mencakup beberapa ciri utama pada individu yang sehat secara mental, antara lain:
- Sikap positif terhadap diri sendiri, yang berarti kemampuan untuk memahami dan mengenali diri dengan baik.
- Kemampuan untuk berkembang, bertumbuh, dan mewujudkan potensi diri secara maksimal.
- Integrasi diri, yang mencakup keseimbangan psikologis, pandangan hidup yang konsisten, serta kemampuan untuk bertahan menghadapi berbagai tekanan.
- Otonomi diri, yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan perilaku dari dalam diri atau bertindak secara bebas.
- Persepsi terhadap kenyataan yang jernih, tidak terdistorsi oleh kebutuhan pribadi, serta memiliki rasa empati dan kepedulian sosial yang tinggi.
Utsman Najati (2003), seorang ahli psikologi Islam, mengutip beberapa pandangan para pakar psikologi mengenai tanda-tanda seseorang yang telah mencapai kesehatan mental yang optimal. Salah satunya adalah menurut Maslow, yang menyatakan bahwa indikator kesehatan mental seseorang tercermin dalam kemampuannya untuk menjalin hubungan dengan berbagai nilai penting, seperti kejujuran terhadap diri sendiri dan orang lain, keberanian untuk mengungkapkan kebenaran, serta rasa tanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan. Selain itu, seseorang yang sehat secara mental juga harus mampu mengakui siapa dirinya, apa yang diinginkan, dan apa yang disukainya, serta dengan lapang dada menerima kebaikan, meskipun itu bukan berasal dari dirinya sendiri, tanpa merasa perlu membela diri atau mengubah fakta demi mempertahankan kebenaran.
Selain pendapat Maslow, Najati (2003) juga mengungkapkan pandangan Muhammad Audah dan Kamal Ibrahim yang menekankan pentingnya aspek spiritual dalam menilai kesehatan mental. Mereka berpendapat bahwa indikator-indikator kesehatan mental harus mencakup berbagai dimensi kehidupan, antara lain:
- Dimensi Spiritual mencakup keyakinan yang kuat kepada Allah, melaksanakan ibadah dengan penuh rasa ikhlas, menerima segala takdir-Nya dengan lapang dada, merasakan kedekatan dengan-Nya, memenuhi kebutuhan hidup secara halal, dan senantiasa mengingat Allah melalui dzikir.
- Dimensi Psikologis meliputi sifat-sifat seperti kejujuran, terbebas dari perasaan iri dan dengki, memiliki rasa percaya diri yang tinggi, mampu mengatasi kegagalan dan kecemasan, serta menjauhi sikap-sikap negatif seperti kesombongan, penipuan, pemborosan, kikir, kemalasan, dan pesimisme. Juga penting untuk berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama, menjaga keseimbangan emosional, memiliki hati yang lapang, mudah menerima kenyataan hidup, dapat mengendalikan hawa nafsu, serta tidak terjerat dalam ambisi yang berlebihan.
- Dimensi Sosial melibatkan rasa cinta yang mendalam kepada orang tua, teman, dan anak-anak, serta keinginan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Sifat amanah, keberanian untuk mengatakan yang benar, rasa tanggung jawab yang tinggi, serta menghindari perilaku yang dapat merugikan orang lain, seperti berbohong, menipu, mencuri, berzina, membunuh, memberikan kesaksian palsu, mengambil hak anak yatim, memfitnah, berkhianat, atau melakukan tindakan dzalim lainnya, juga merupakan bagian dari dimensi sosial ini.
- Dimensi Biologis berkaitan dengan kondisi tubuh yang sehat, bebas dari penyakit dan cacat fisik, menjaga kesehatan tubuh dengan baik, serta tidak membebani fisik melebihi kemampuan yang ada.
Harawi (1995) mengidentifikasi beberapa gangguan atau penyakit jiwa yang sering muncul dalam masyarakat, antara lain:
- Fobia, yakni perasaan takut yang bersifat irasional dan tidak sesuai dengan kenyataan, di mana individu tersebut sadar bahwa ketakutannya tidak rasional, namun ia tidak mampu mengendalikan atau menghentikan perasaan tersebut.
- Obsesi, yaitu suatu pola pikir yang terus-menerus berulang dan terfokus, di mana individu menyadari bahwa pikirannya tersebut tidak benar, tetapi ia kesulitan untuk mengalihkan perhatian atau menghentikan pikiran yang terus muncul.
- Kompulsi, yaitu perilaku atau tindakan yang diulang-ulang. Meskipun individu sadar bahwa tindakan tersebut tidak rasional dan salah, ia tidak dapat menghindari atau menghentikan perbuatannya.
Dalam pandangan psikologi Islam, ada berbagai jenis penyakit mental yang sering menyerang individu, antara lain:
- Riya': Penyakit ini muncul ketika seseorang melakukan tindakan atau mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan, demi mendapatkan perhatian atau pujian dari orang lain.
- Hasad dan dengki: Perasaan tidak senang ketika melihat orang lain mendapatkan kebahagiaan atau kemuliaan, disertai dengan keinginan agar kebahagiaan itu hilang dan berpindah kepada dirinya.
- Rakus: Kecenderungan untuk memiliki keinginan makan yang berlebihan, tanpa mampu menahan nafsu.
- Was-was: Gangguan ini timbul akibat bisikan dari dalam hati, harapan, atau keinginan yang tidak terkendali yang berkaitan dengan kenikmatan duniawi.
- Berbicara berlebihan: Keinginan untuk terus-menerus berbicara dapat merusak, karena seringkali menyebabkan pembicaraan yang tidak bermanfaat atau bahkan kebohongan.
Metode Al-Qur‟an dan Al Hadits dalam Merealisasikan Kesehatan Mental
Kesehatan mental terbentuk dari kepribadian yang kokoh dan seimbang. Semua ciri kepribadian yang stabil ini dapat ditemukan pada diri Rasulullah SAW. Beliau mampu menyeimbangkan berbagai aspek kehidupan dengan sempurna, sehingga Allah memuji beliau sebagai pribadi dengan akhlak yang mulia. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: "Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung" (QS. Al-Qolam: 4). Rasulullah SAW adalah contoh sempurna dari annafsu al-muthmainnah, yang mencerminkan kesehatan mental yang optimal. Al-Qur'an dan Sunnah, sebagai pedoman utama ajaran Islam, menawarkan metode yang khas dalam mencapai kesehatan mental, dengan Rasulullah SAW sebagai model yang dapat diikuti oleh umat Islam dan seluruh umat manusia. Pendekatan ini berbeda dengan teori-teori psikologi lainnya yang cenderung bersifat abstrak dan tidak diikuti dengan contoh konkret. Menurut Quraish Shihab (2003), tujuan utama kehadiran Islam adalah untuk menjaga agama, jiwa, akal, tubuh, harta, dan keturunan. Tiga aspek di antaranya sangat berkaitan dengan kesehatan, sehingga tidak mengherankan jika Islam memiliki banyak petunjuk mengenai hal ini. Metode yang diajarkan dalam Al-Qur'an dan Hadis untuk mencapai kesehatan mental, baik yang bersifat umum maupun yang lebih khusus, meliputi tiga pendekatan utama: pertama, memperkuat dimensi spiritual; kedua, mengelola dimensi biologis; dan ketiga, mempelajari hal-hal yang krusial untuk mendukung kesehatan mental (Najati,2003).
Metode Penguatan Dimensi Spiritual
Sejak awal, Islam mengajarkan umatnya untuk meyakini dan menyembah Allah semata, sebagai jalan untuk meraih ketenangan dan kedamaian jiwa yang sesungguhnya. Dengan keimanan dan tauhid, seseorang dapat merasakan kedamaian dan ketenangan jiwa yang sejati (Najati, 1987). Sebagaimana tertuang dalam firman Allah:
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan iman mereka dengan kesyirikan, merekalah yang merasakan ketenangan hati dan mendapatkan petunjuk." (QS. Al-An‘aam: 82).
Rasulullah SAW menghabiskan waktu 13 tahun untuk menanamkan iman dan mengajarkan tauhid kepada umat, sebelum akhirnya memerintahkan mereka untuk melaksanakan syariat. Keimanan yang kokoh dalam hati mampu mendatangkan rasa lapang, keridhaan, dan kebahagiaan dalam kehidupan seseorang.
Dia akan merasakan perlindungan dan bimbingan dari Allah, yang akan menenangkan hatinya dan membuatnya dicintai oleh banyak orang. Allah berfirman:
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan merasa tenang." (QS. Ar-Ra'd: 28).
Apabila keimanan seseorang telah teguh dan arah hidupnya tertuju kepada Allah, maka penguatan dimensi spiritual dilakukan melalui pelaksanaan syariat. Ibadah-ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji berfungsi sebagai sarana pendidikan untuk membentuk karakter manusia. Kegiatan ibadah ini membantu membersihkan hati dan mengajarkan nilai-nilai mulia yang dapat menguatkan seseorang dalam menghadapi berbagai ujian hidup. Mereka yang rutin melaksanakan ibadah yang diwajibkan akan terlatih untuk lebih sabar menghadapi kesulitan, memperkuat tekad, serta menumbuhkan rasa kasih sayang dan kepedulian terhadap orang lain, sekaligus memperkuat semangat untuk berinteraksi dengan sesama. Bagi mereka yang mengalami tekanan mental, pengalaman emosional yang negatif, atau konflik batin yang berujung pada gangguan jiwa, ibadah-ibadah dalam Islam bisa berfungsi sebagai sarana penyembuhan psikologis yang sangat efektif.
Psikoterapi Melalui Shalat
Shalat memiliki peran yang sangat penting dalam meredakan perasaan gelisah dan cemas. Dengan melaksanakan shalat secara khusyuk, seseorang dapat merasakan kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman batin. Rasulullah SAW selalu mengerjakan shalat saat menghadapi situasi yang membuatnya merasa tertekan. Hudzaifah RA meriwayatkan bahwa ia berkata, "Apabila Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam merasa cemas terhadap suatu urusan, beliau segera mengerjakan shalat" (HR. Abu Dawud). Ini menunjukkan bahwa shalat adalah cara yang sangat efektif untuk menenangkan hati dan jiwa. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya, Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah: 153). Allah juga berfirman, “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan hasil tanaman. Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”(QS. Al-Baqarah:155).
Salah satu bentuk terapi psikologis dalam shalat adalah dengan membaca atau mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an, yang memiliki efek penyembuhan yang tidak dapat ditemukan di apotek atau rumah sakit. Ahmad Al-Qadzi, Ketua Pusat Informasi Yayasan Ilmu Kedokteran di Amerika, menyampaikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa bacaan Al-Qur'an memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan, dengan tingkat efektivitas mencapai 97%. Al-Qur'an terbukti dapat mengurangi ketegangan pada saraf hingga 65%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bacaan lain yang hanya memiliki pengaruh 35%. Hal ini sangat bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental, karena sel-sel saraf memainkan peran utama dalam mengatur fungsi otak, termasuk pikiran, perasaan, dan gerakan tubuh (Salim, 2009).
Selain manfaat psikoterapi yang telah disebutkan, shalat juga memiliki peran penting dalam membentuk mental seseorang. Shalat mengajarkan nilai-nilai seperti pengelolaan waktu, disiplin, dan komitmen dalam menjalani aktivitas. Selain itu, kekuatan spiritual yang muncul dari shalat dapat memberikan dorongan harapan, memperjelas tujuan hidup, memperkuat semangat, serta memberikan energi positif yang mempersiapkan seseorang untuk menerima ilmu dan hikmah dengan lebih terbuka.
Psikoterapi melalui Puasa
Ibadah puasa mengandung unsur pelatihan bagi seseorang untuk melatih kesabaran dalam menghadapi tantangan hidup, seperti menahan rasa lapar, haus, kemarahan, dan dorongan untuk berbuat buruk. Dari perspektif sosial, dengan menahan lapar dan dahaga, seseorang dapat merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum miskin yang sering kesulitan mendapatkan makanan. Perasaan empati yang muncul dari pengalaman ini akan mendorong orang yang berpuasa untuk lebih peduli dan membantu saudara-saudaranya yang hidup dalam kondisi ekonomi yang kurang baik. Dengan demikian, mereka akan lebih cenderung memberikan bantuan dan berbuat baik kepada yang membutuhkan, yang pada gilirannya mempererat hubungan sosial di antara mereka.
Dari segi psikologis, puasa dapat membantu menyembuhkan perasaan bersalah dan menghilangkan kegelisahan. Rasulullah SAW pernah bersabda: "Siapa saja yang menjalankan puasa Ramadhan dengan iman dan ikhlas, mengharapkan ridha Allah, maka dosa-dosanya yang lalu akan diampuni." (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Imam Ahmad). Beberapa hadis juga secara khusus menyebutkan pengampunan dosa, seperti puasa Arafah yang menghapus dosa setahun yang lalu maupun yang akan datang, serta puasa Asyura yang menghapus dosa setahun yang telah berlalu, dan lainnya (Najati, 2003).
Psikoterapi Melalui Ibadah Haji
Ritual ibadah haji, seperti thawaf, wukuf, sa’i, dan melempar jumrah, mengandung nilai yang sangat mendalam. Thawaf dan wukuf di Arafah memberikan kesempatan untuk refleksi diri, merenungkan kesalahan-kesalahan masa lalu yang menjauhkan diri dari Allah SWT, serta untuk menemukan kembali tujuan hidup yang sejati. Sementara itu, sa’i antara Shafa dan Marwah menjadi simbol perjuangan batin dalam mengatasi godaan hawa nafsu. Melempar Jumrah 'Aqabah merupakan tindakan untuk melepaskan diri dari sifat-sifat kejahiliahan seperti kemunafikan, kebohongan, dan keduniawian. Semua ritual ini mengingatkan kita pada kisah Nabi Ibrahim yang menunjukkan keteguhan iman dengan mengorbankan hal-hal yang paling dicintainya demi mendapatkan ridha dan kasih sayang Allah (Suharto, 2002).
Melaksanakan ibadah haji dapat mengasah kesabaran, memperkuat tekad untuk berjuang, serta membantu mengendalikan nafsu dan keinginan. Ibadah haji juga berfungsi sebagai penyembuh bagi sifat sombong, arogansi, dan kebanggaan diri, karena dalam pelaksanaannya, semua umat manusia diperlakukan sama tanpa ada perbedaan. Doa-doa memohon ampunan yang disertai dengan suasana yang dipenuhi dengan gemuruh bacaan zikir, menjadikan ibadah haji kaya dengan nilai-nilai spiritual yang mampu membangkitkan semangat dan membawa ketenangan hati (Najati, 2003).
Psikoterapi Melalui Dzikir dan Doa
Dzikir dan doa merupakan bentuk ibadah yang sangat fundamental dalam Islam, bahkan dianggap sebagai esensinya. Dengan berdzikir, hati dan jiwa seseorang akan merasakan ketenangan. Rasulullah SAW mengajarkan para sahabat untuk selalu mengingat Allah melalui dzikir dan doa, guna mempererat hubungan mereka dengan-Nya serta semakin mendekatkan diri kepada Allah setiap saat. Doa menjadi sarana bagi seorang hamba untuk menyampaikan perasaan dan keresahan hati, serta mengadu langsung kepada Sang Pencipta. Keyakinan bahwa Allah akan memberikan pertolongan dalam menghadapi masalah akan membawa ketenangan. Allah berfirman, "Dan Tuhanmu berfirman, 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan doa kalian. Sesungguhnya orang-orang yang sombong dan tidak mau menyembah-Ku, mereka akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan terhina.'" (QS. Al Ghafir: 60).
Metode Pengendalian Motivasi Biologis
Menurut Islam, motivasi biologis yang ada dalam diri manusia dianggap sebagai fitrah yang tidak boleh diputuskan. Islam mengajarkan agar setiap individu dapat mengelola dan mengatur pemenuhan kebutuhan biologisnya dengan cara yang seimbang, memperhatikan kebaikan bagi diri sendiri maupun masyarakat. Al-Qur’an dan Hadits memberikan pedoman dalam mengelola pemuasan motivasi fitrah tersebut, berdasarkan prinsip-prinsip tertentu.
- Melampiaskan dorongan tersebut dengan cara yang sesuai dengan aturan syariat dan halal. Sebagai contoh, melampiaskan dorongan seksual melalui pernikahan,sedangkan berzina dianggap haram, membawa dosa, dan menghilangkan kedamaian hati.bagi mereka yang belum mampu, disarankan untuk menahan diri dengan berpuasa guna menjaga kesucian diri. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
"Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian mereka, hingga Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya." (QS. An-Nuur: 33).
- Tidak berlebihan dalam menyalurkan dorongan tersebut, karena dapat berakibat buruk pada kesehatan fisik dan mental. Allah melarang umat-Nya untuk berlebihan dalam agama, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:
"Katakanlah (Muhammad), 'Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agama kamu dengan cara yang tidak benar. Jangan pula mengikuti keinginan orang-orang yang telah sesat sebelumnya, yang telah menyesatkan banyak orang, sedangkan mereka sendiri tersesat dari jalan yang benar.'" (QS. Al-Maidah: 77).
Metode Mempelajari Hal yang Urgen dari Kesehatan Mental
Rasulullah mendorong umatnya untuk menjaga kesehatan tubuh dengan melakukan kegiatan seperti berkuda, berenang, dan memanah, yang kini terbukti bermanfaat sebagai terapi untuk kesehatan mental (Najati, 2003).
Ada beberapa hal penting mengenai kesehatan mental yang selalu mendapat perhatian Rasulullah dan sering disampaikan kepada para sahabat, antara lain:
- Perasaan Aman
Rasulullah SAW bersabda, "Jika seseorang merasa aman di rumahnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dia memiliki segala sesuatu di dunia ini." (HR. Tirmidzi)
- Bergantung pada Diri Sendiri
Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang bersedia menjamin dirinya untuk tidak meminta apapun dari manusia, maka aku akan menjamin baginya surga." Tsauban pun berkata, "Aku siap, wahai Rasulullah." Sejak itu, Tsauban tidak pernah meminta bantuan dari orang lain. (HR. Abu Dawud)
- Percaya Diri dan Teguh pada Prinsip
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Janganlah kalian menjadi orang yang hanya mengikuti apa yang orang lain lakukan! Jangan sampai kalian berkata, 'Kami akan berbuat baik jika orang lain berbuat baik, dan kami akan berbuat jahat jika orang lain berbuat jahat.' Namun, berpeganglah pada prinsip yang kokoh! Jika orang lain berbuat baik, maka lakukanlah hal yang sama. Tetapi, jika mereka berbuat buruk, jangan sampai kalian mengikuti keburukan itu dengan kezaliman." (HR. Tirmidzi).
- Rasa Tanggung Jawab
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Setiap orang di antara kalian adalah pemimpin, dan masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya, seorang suami adalah pemimpin di dalam keluarganya dan akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya, seorang istri adalah pemimpin di rumah tangga dan akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rumah tangganya, serta seorang pelayan bertanggung jawab atas harta yang dipercayakan padanya oleh tuannya." (HR. Al-Bukhari).
- Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat
Rasulullah SAW bersabda, "Jangan biarkan dirimu merendahkan diri sendiri!" Para sahabat kemudian bertanya, "Bagaimana mungkin seseorang bisa merendahkan dirinya?" Rasulullah menjelaskan, "Ketika seseorang tahu ada sesuatu yang seharusnya ia sampaikan demi Allah, namun ia memilih untuk menahannya." Pada hari kiamat, Allah SWT akan bertanya, "Apa yang menghalangimu untuk mengungkapkan ini atau itu?" Orang tersebut akan menjawab, "Aku takut pada manusia, karena itu aku tidak mengatakannya." Allah kemudian berfirman, "Harusnya kamu lebih takut kepada-Ku." (HR. Ibnu Majah)
- Menerima Takdir dengan Ridha
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Terimalah dengan lapang dada apa yang telah Allah tentukan untukmu, maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
- Kesabaran dalam Menghadapi Cobaan
Rasulullah SAW bersabda, "Balasan seseorang tergantung pada seberapa besar ujian yang dihadapinya. Sesungguhnya, apabila Allah menyayangi suatu kaum, Dia akan memberikan ujian kepada mereka. Barang siapa yang menerima dan bersabar atas cobaan itu, maka ia akan mendapatkan keridhaan Allah. Namun, barang siapa yang marah, maka ia akan menerima murka-Nya." (HR. Tirmidzi)
- Melakukan Pekerjaan dengan Baik dan Sempurna
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Allah menyukai orang yang melakukan pekerjaannya dengan penuh kesempurnaan." (HR. Al Baihaqi)
- Memperhatikan Kekuatan Fisik
Rasulullah SAW bersabda, "Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan dengan mukmin yang lemah." (HR. Muslim)
Untuk membentuk karakter dengan sifat-sifat yang baik, Rasulullah SAW memberikan petunjuk utama dengan menekankan pentingnya memperbaiki “bagian dalam” diri, yaitu hati. Beliau bersabda: “Ingatlah, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh. Namun jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari Muslim).
Penutup
Dari uraian di atas dapat diambil berberapa kesimpulan antara lain: 1) menjaga kesehatan mental dalam perspektif AlQur‟an dan As-Sunnah berpijak pada prinsip wasathiyah (moderasi) dalam pemenuhan kebutuhan antara yang bersifat material dan spiritual, 2) metode Al-Qur‟an dan Al Hadits dalam merealisasikan kesehatan mental antara lain dengan penguatan dimensi spritual, pengendalian motivasi biologis dan metode mempelajari hal yang urgen bagi kesehatan mental. Ketercapaian metode tersebut dapat dilihat dari kehidupan nabi dan para sahabata dari sisi hubungannya dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, hubungannya dengan orang lain, dan alam semesta
Daftar Pustaka
- Ancok, Djamaluddin dan Fuad Nashori Suroso. (1995). Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Daradjat, Zakiah. (1983). Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung.
- Hawari, Dadang. (1995). Al-Qur'an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Bina Bhakti Prima Yasa.
- Jaelani, A.F. (2000). Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental. Jakarta: Penerbit Amzah.
- Najati, Utsman, (2003). Psikologi dalam Tinjauan Hadits Nabi., Terj. Wawan Djuanaedi. Jakarta: Penerbit Mustaqim.
- Notosoedirjo & Latipun. (2005). Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan. Malang :UMM Presc.
- Salim, Mukhtar, (tth). Sehat Jiwa Raga dengan Shalat. Klaten: Penerbit Wafa Press.
- Shihab, M. Quraish. (2003).Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung: PT. Mizan Pustaka.
- Taufik, Muhammad Izudin. (2006). Psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
- Febriana Ina, “Dampak Globalisasi terhadap Kesehatan Mental” artikel diambil dari http://inafebriana501.blogspot.co.id/2011/02/ sebelumny a-telah-dibahas tentang.html, akses 20 Juni 2016.
- http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/ akses 20 Juni 2016.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Monastisisme, tanggal akses 22 Juni 2016).
Tidak ada komentar